Kobarkan Terus Semangat Anti Korupsi

Posted by sunardi-djakarta on Jumat, 16 April 2010 , under | komentar (0)



(Oleh: H.Nurhadi Purwosaputro)
Berita tentang konflik nasional antara (blok) KPK dan (blok) Polri sangat berkepanjangan dan menyita seluruh perhatian masyarakat. Pihak yang merasa benar ingin meyakinkan bahwa dirinyalah yang paling benar dan yang disudutkan berusaha keluar dari sudut tekanan. Rakyat pemilik Republik ini gigit jari, bingung tidak tahu ujung pangkalnya. Pikiran rakyat kecil sangat sederhana: membangun bangsa perlu dana sangat besar. Dana yang ada harus dimanage dengan sebaik-baiknya dan kontrol seketat-ketatnya. Lembaganya ada semua untuk fungsi-fungsi itu. Tapi mengapa korupsi yang menggerogoti uang rakyat makin membudaya? Siapa yang berfungsi menangani pemberantasan korupsi? Tentu semua instansi akan mengklim dirinya sebagai pahlawan anti korupsi agar rakyat tenang, karena korupsi terjadi di belakang meja, tidak akan mudah diketahui apalagi oleh rakyat awam.
Untuk mencari jalan keluar yang berpihak kepada rakyat adalah kembali kepada semangat perjuangan bangsa mencapai cita-cita sebagai bangsa merdeka. Semangat nasional ini selalu bangkit saat seluruh bangsa menghadapi musuh bersama seperti yang pernah kita alami: hadapi pemerintah kolonial, hadapi pendudukan Jepang, hadapi tentara sekutu/Belanda, hadapi Komunisme yang mau hancurkan Pancasila, semuanya musuh bangsa Indonesia. Dan sekarang hadapi siapa? Musuh bangsa Indonesia saat ini adalah kemelaratan, kebodohan dan keterbelakangan (bidang pembangunan SDM), serta koruptor. Maka korupsi harus diberantas secara nasional sampai ke akar-akarnya.
Rakyat bertanya: siapa yang fungsional harus menangani pemberantasan korupsi? Yang terlihat adalah makin hebat dan meratanya korupsi, merambah seluruh instansi pemerintah dan berakibat pada keluhan para investor dan kualitas pembangunan yang di bawah yang direncanakan. Dari sini terlihat bahwa lembaga-lembaga resmi yang berfungsi memberantas korupsi belum efektif, dalam ilmu perang “tidak mampu memenangkan perang terhadap koruptor”. Mereka mungkin bekerja keras, tetapi tidak mampu melumpuhkan lawan. Kondisi seperti itu berlangsung telah bertahun-tahun lamanya. Maka pemerintah selalu mengatasinya dengan membuat lembaga ‘ekstra konstitusional’ dengan tugas khusus memberantas korupsi, tetapi tetap saja tidak berhasil. Tahun 1972 pak Harto pernah membentuk TPK (Tim Pemberantas Korupsi) yang tidak mampu bekerja entah apa sebabnya, dan diganti lagi dan berganti lagi dengan nama dan personil lain tetapi tetap tanpa hasil yang memuaskan, terus sampai terbentuknya KPK yang terasa efek positifnya oleh rakyat, terutama selama dibawah Antasari Anzhar. Barangkali perlu kajian historis mengapa lembaga-lembaga ekstra konstitusional selalu alami kesulitan dan sering gagal? Siapa tahu hambatannya di birokrasi karena uang rakyat ada di tangan birokrasi.
Kegagalan yang selalu dialami dalam memberantas korupsi adalah karena korupsi dilakukan dibelakang meja, tahu-sama-tahu, kongkalingkong, sulit dibuktikan dan sebagainya. Selain korupsi hampir selalu melibatkan birokrasi yaltu para pengambil keputusan, terjadi di sekeliling kita sendiri. Di lain pihak ada dugaan aparat pelaksana pemberantasannya ada yang ikut terjangkit penyakit korupnya. Dari waktu kewaktu proses korupsi jalan terus sehingga dirasa diperlukan badan khusus yang menangani. Karena sulitnya membongkar kasus korupsi maka harus dimungkinkan digunakannya cara-cara khusus yang dapat dipertanggung jawabkan seperti penyadapan dan sebagainya.
Kalau kita sepakat korupsi merupakan musuh bangsa Indonesia, maka tindakan KPK terhadap koruptor sama dengan gerilyawan kita hadapi tentara pendudukan. Sama saja dengan TNI hadapi GPK. Koruptor sangat menggerogoti kekayaan bangsa. Maka apapun yang dilakukan selama itu untuk menggulung kekuatan lawan (koruptor) seharusnya memperoleh dukungan secara nasional. Aparat konvesnsional tidak mampu melakukan, maka dengan bukti KPK mampu, dukung terus. Memang peristiwa ‘peperangan’ (warfare) selalu menimbulkan dilemma, pro-kontra. Dilemma antara kepentingan penghancurkan musuh bangsa dengan hukum. Peristiwa yang sama terjadi pada waktu operasi penumpasan G-30-S/PKI dilemma itu terasa bahkan sampai sekarang. Oleh karena itu waktu itu ada aparat Komkamtib yang mendapat kewenangan polisionil secara terbatas, dan ada kebijakan golongan B dikirim ke pulau Buru karena memang tidak bisa diselesaikan secara hukum. Akibat dari itu maka untuk menyerang balik kebijakan Kopkamtib orang selalu memanfaatkan jalur hukum.
Dalam kasus KPK terjadi dilemma antara meneruskan semangat KPK yang sedang ‘membara’ (yang dukungannya sudah sangat besar) atau terus menegakkan hukum karena memang bangsa kita selalu mengalami kesulitan dalam penegakan hukum. Masing-masing mempunyai argumentasi kuat untuk mempertahankan posisinya. Tapi jiwa patriotirsme pasti lebih memilih hancurkan koruptor terlebih dahulu. Yaitu penghacuran koruptor gaya dibawah Antasari yang hasilnya member harapan besar, bukan asalan. Maka bila dimungkinkan, alangkah baiknya tim Antasari Anzhar dikembalikan posisinya lagi diberi kesempatan untuk menyelesaikan rencana kerjanya, sebagai bagian dari upaya penegakan hukum secara nasional. Mari kita dengar suara hati nurani rakyat yang selalu mendambakan kesejanteraan, keadilan, keamanankan dan ketertiban, sebagai pedoman bagi para politisi dan pengambil keputusan pada saat menghadapi dilemma.

Memahami Intelijen Sebagai Profesi Pengabdian

Posted by sunardi-djakarta on , under | komentar (0)



(Oleh: H. Nurhadi Purwosaputro)
Istilah intelijen tidaklah asing bagi siapapun, namun pemahaman secara sebenarnya belum sepenuhnya dikuasai oleh seluruh bangsa Indonesia. Kehadiran intelijen adalah kebutuhan bangsa maka pemahaman yang benar perlu disampaikan kepada masyarakat umum. Fungsi intelijen ibarat indera bagi organisme. Makin lengkap dan tajamnya alat indera yang dimiliki oleh suatu organisme, makin besar kemungkinan bagi organisme itu untuk mampu survival dan menampilkan kekuatan dan kekuasaannya untuk menguasai alam sekitarnya.
Satu bangsa dan negara adalah satu organisme yang harus memiliki fungsi indera yang baik untuk dapat survive dan berkembang menjadi yang lebih baik. Fungsi indera bagi suatu bangsa dan negara dilakukan oleh satu badan intelijen. Kualitas, kemampuan dan sensitivity badan intelijen yang dimiliki oleh satu negara berbeda dengan negara yang lain. Hanya negara yang memiliki badan intelijen yang berfungsi sangat baik adalah negara yang mampu menampilkan diri sebagai negara yang besar.
Kita menginginkan intelijen kita memiliki kemampuan melihat seperti matanya elang atau merpati yang dari kejauhan mampu mengidentifikasi sasaran/pasangannya. Memiliki kemampuan mengendus seperti hidungnya anjing, mempunyai kemampuan perasa seperti daun putri malu yang sangat sensitive, dan sebagainya.
Intelijen bagi satu negara melakukan fungsi early detection dan early warning, mampu memberi petunjuk kepada bangsa dan negara tentang ancaman apa yang ada disekelilingnya dan yang masih jauh di depan kita; mendeteksi hambatan dan gangguan yang akan menghadang, menghambat dan mempengaruhi laju kemajuan kita, serta mampu melihat tantangan aatau peluang/opportunity apa yang ada di depan kita untuk menyusun strategi menuju tercapainya cita-cita bangsa.
Intelijen ada yang bersifat strategis yang berfungsi membimbing Pemerintah dan Angkatan Perang/TNI dalam melakukan perencanaan pembangunan maupun menyusun kekuatan jauh ke depan. Bagi Pemerintah intelijen strategis membimbing upaya penyusunan rencana pembangunan nasional, diperankan oleh BIN (Badan Intelijen Nasional), sedangkan bagi TNI intelijen membimbing dalam menyusun dan membangun kekuatan militer agar mampu memenangkan perang andaikata terjadi, diperankan oleh BAIS (Badan Intelijen Strategis TNI). Juga ada intelijen yang bersifat taktis yang berperan untuk mengsukseskan penyelesaian tugas/misi. Bagi Pemerintah intelijen taktis membantu pengelolaan pemerintahan sehari-hari dan bagi bagi militer intelijen taktis membantu memenangkan pertempuran demi pertempuran. Jadi intelijen akan sangat diperlukan setiap saat, baik pada saat sebelum sesuatu tugas dilakukan maupun selama dinamika pelaksanaan tugas dilakukan. Oleh karenanya kegiatannya adalah rutin, tetapi sewaktu-waktu dapat berubah menjadi kegiatan operasi manakala kondisi memerlukan.
Intelijen bekerja tanpa senjata (kecuali intelijen tempur) dan apa yang dilakukan dalam melaksanakan misinya tidak boleh ada seorangpun yang tahu. Operasi intelijen yang baik adalah yang dilakukan secara tertutup (under cover operation), agennnya masuk ke’jantung’nya lawan; dia berasa di situ seolah-olah menjadi bagian dari lawan kita, yang dilakukan demi misinya, namun pengabdian dan loyalitas tetap hanya kepada bangsa dan Negara Indonesia. Hal ini sesuai dengan credo intelligence must be there, sehingga bukanlah aneh bila seandainya ada agen intelijen yang dikenal sebagai anggota GAM, PKI, dan lain-lain; itu adalah demi misi. Sehari-hari dan secara terbuka ia dianggap sebagai tokoh dari organisasi itu tetapi yang sebenarnya dilakukan demi melaksanakan fungsi, profesi dan pengabdian kepada bangsa dan negara untuk memperoleh informasi yang bernilai tinggi. Walau mengandung resiko yang sangat tinggi bila terbuka kedoknya oleh lawan, karena setiap agen bekerja sendiri dengan tanggung jawab sendiri dan rahasianya harus dijaga sepanjang masa.
Dalam intelijen juga ada pedoman kerja compartmentation (mengambil istilah ilmu tentang kapal, dimana bila ada kebocoran di satu ruangan tidak mempengaruhi ruangan yang lain), bahwa tugas/misi yang diemban oleh seorang agen tidak boleh diketahui oleh siapapun termasuk teman sejawad. Penugasannya secara perorangan dan hanya diketahui oleh pimpinan pemberi tugasnya. Dilarang membawa atribut apapun dari markasnya apalagi surat tugas. Pemberi tugas hanya menyampaikan secara lisan, atau membacakan surat perintah tugas kepadanya kemudian disimpai lagi di markas setelah difahami betul oleh agen. Sejak itu hubungan dengan markas hanya dilakukan secara khusus sesuai doktrinnya. Seorang agen dilarang keras membuka tugasnya kepada siapa pun, bahkan kehadirannya sebagai agen intelijen tidak boleh diketahui oleh siapa pun termasuk keluarganya, terutama bagi mereka yang melakukan tugas under cover operation. Jadi kalau ada seorang agen yang dikenal lingkungannya sebagai petugas intel apalagi selalu membawa atribut satuannya, apalagi memamerkan pistol yang dipercayakan kepadanya, bukanlah agen yang sesuai dengan ilmu yang dipelajari selama pendidikannya.
Resiko berat yang selalu menghantui agen yang bertugas under cover operation adalah (1) terbuka kedoknya oleh lawan, lalu ditangkap dan disiksa oleh fihak lawan; (2) Bagi yang sudah dikenal sebagai orang yang berada di fihak lawan, sangat sulit proses rehabilitasinya. Oleh karena itu pengabdian kepada bangsa dan negara melalui profesi intelijen harus siap untuk dharma bhaktinya tidak dikenal masyarakat, mampu menahan diri tidak membuka sedikitkan tugas-tugas dan kerahasiaan tugas/misinya, hidup hanya sesuai dengan cover yang sudah diaplikasikannya. Untuk itu perlu persiapan mental yang kuat, dan: pengabdian anda di profesi ini adalah sangat mulia.

Peran Pers: Dasyatnya Informasi

Posted by sunardi-djakarta on , under | komentar (0)



(Oleh: H.Nurhadi Purwosaputro)
Dari pimpinan perusahaan sampai pemulung bahkan murid TK ramai-ramai melakukan gerakan solidaritas mengumpulkan coin (uang logam) untuk membantu Prita Mulyasari yang terkena hukuman harus membayar denda Rp204 juta lebih kepada Rumah Sakit Omni Internasional Tangerang setelah Pengadilan Negeri Tangerang menjatuhkan hukuman Rp306 juta akibat tulisannya di internet yang berisi keluhan ketidak puasannya atas pelayanan rumah sakit tersebut. Gerakan moral ini dengan cepat menyebar ke banyak kota di Jawa sampai ke kota Bima dan stasiun TV menyampaikan beritanya setiap saat sesuai dengan kesegaran beritanya. Berita tentang ditangkapnya Bibit – Chandra oleh Polri dalam kasus skandal penyuapan KPK cepat membara ke seluruh pelosok tanak air dan kampus sehingga gerakan massa nyaris tidak dapat dibendung. Beberapa pelaku yang ditanya oleh wartawan TV menjawab tidak faham masalahnya. Ini mungkin karena yang ditanya orang yang ikut-ikutan, tapi gayanya gegap gempita. Pada saat Panitia 8 menyelesaikan laporannya, ada gerakan massa membahana di kota-kota besar yang dianggap oleh sebagian orang sebagai gerakan kontra, kembali wartawan TV menanya peserta demo siapa Kapolri kita, jawabannya ‘tidak tahu’, kembali, mungkin yang ditanya adalah orang yang kebetulan ikut-ikutan, namun gayanya gegap gempita. Banyak lagi kasus seperti ini dimana gerakan massa bernilai solidaritas untuk mendukung atau melawan satu kondisi tertentu, yang melibatkan banyak orang awam yang tidak tahu menahu namun hatinya sudah terbakar membara tanpa tahu arah.
Keampuhan metoda demonstrasi besar-besaran sudah menjadi mode bagi para penginisiatif dan pakar komunikasi sebagai cara untuk menekan seberat-beratnya mental sasaran sehingga diharap akan segera memenuhi tuntutannya. Ini dapat terjadi karena media massapun akan memberitakannya secara besar-besaran sehingga mampu membentuk opini publik secara meyakinkan. Solidaritaspun segera terbentuk. Emosi anti sasarannya segera mengakar kuat dalam hati semuanya yang melihat, mendengar apalagi ikut serta berdemo sehingga apapun dapat dilakukan termasuk menyerang, merusak, membakar dan membenci, sampai menampilkan kebrutalan yang sulit dikendali komando demonstrasinya. Keampuhan media massa sebagai sarana pembentuk opini publikpun terbukti dengan jelas. Tanya saja kepada yang tidak punya TV, tidak mendengar radio mapun tidak biasa baca koran dapat dipastikan tidak tahu menahu, asyik dengan kegiatannya sendiri. Mereka bukan apatis tetapi karena media massa tidak menyentuhnya.
Betapa dahsyatnya peran pers dalam membentuk opini, membangun emosi, membangkitkan solidaritas, bahkan menjatuhkan seseorang secara sosial psikologis bahkan politis. Dalam kasus bank Century misalnya, pendapat umum nyaris mengatakan aliran dana nya kepada Partai Demokrat dan character yang menjadi sasaran ‘tembak’nya adalah SBY, padahal belum ada peradilan yang membuktikannya. Ada orang berpendapat telah terjadi peradilan publik oleh pers. Dalam pemberitaan soal penegakkan hukum semua media massa kompak membela ketidak adilan yang dirasakan oleh masyarakat bawah dan koruptor. Dalam kasus Prita Mulyasari, pihak rumah sakit OMNI tidak berhasil membentuk opini publik dengan cara proses peradilan bahwa Prita salah. Yang terbentuk adalah sebaliknya, satu opini bahwa OMNI tidak memperoleh simpati publik di hati anak-anak akan terbawa sampai mereka besar nanti.
Dengan demikian pers dapat dikatakan sebagai satu sistim persenjataan (sista) sendiri karena dapat melakukan ‘pembunuhan tak berdarak’, antara lain apa yang disebut dengan ‘character snipping’. Dan di kalangan pakar politik pers merupakan kekuatan yang harus dipertahankan peran dan keberadaannya sebagai kekuatan politik yang mandiri dalam sistim demokrasi. Tidak boleh ada yang mencoba untuk mengontrolnya. Kekuatan ini memang benar-benar dibutuhkan dalam masyarakat demokratis untuk menjaga keseimbangan politis antara yang memegang kekuasaan dan rakyat yang memiliki kedaulatan.Kita sudah mengalami betapa kondisi monopoli kekuasaan terkonsentrasi pada eksekutif pada masa dimana pers dapat dibungkam dan dilumpuhkan kekuatannya. Namun sebaliknya dalam kondisi pers memperoleh kebebasan penuh, peran yang seharusnya sebagai stabilisator menjadi ‘eksekutor’ dengan melakukan pengadilan oleh pers secara terbuka (baca: acara TV) dengan pertanyaan-pertanyaan yang menekan, menyudutkan bahkan dengan gaya sinis yang disaksikan langsung oleh seluruh pemirsa se Nusantara. Serasa proses peradilan di lembaga resmi Pengadilan Negeri sudah tidak perlu lagi.
Dalam kondisi seperti ini rasa keadilan terusik kembali. Orang mencoba untuk menyampaikan argumentasi perlunya kebebasan didampingi dengan ‘bertanggung jawab’ sebagai dua sisi uang logam yang tidak pernah terpisah. Semua akal sehat menyetujuinya tetapi praktiknya sangat sulit. Rahasianya hanya ada dalam kata hati atausuara hati nurani kita masing-masing. Bagaimana hati kita secara murni berbicara tentang betapa pers benar-benar membela kepentingan publik dan tidak menggunaan kekuatan dahsyatnya untuk melumpuhkan pihak manapun tanpa mengendalikan diri pada batas-batas fungsi demokratisnya. Di dalam kehidupan bersama masing-masing institusi yang memperoleh kekuasaan dan kekuatan untuk mengatur kehidupan bersama harus memahami betul batas-batas fungsinya.
Upaya penegakan hukum dan keadilan sangat diperlukan dan rakyat sangat menunggu-nunggu kapan dapat dirasakan nikmatnya oleh seluruh rakyat. Tetapi kenyataan yang dirasakan masih jauh dari harapan. Pers telah berhasil melaksanakan fungsinya dengan penuh keberanian betapa keadilan yang dirasakan rakyat kecil tidak seimbang dengan yang dinikmati oleh pemegang kekuasaan, apakah kekuasaan politis maupun kekuasaan ekonomis. Dengan bukti yang telah kita rasakan betapa dahsyatnya kekuatan pers sebagai satu ‘sistim kesenjataan moderen’ diharapkan dapat mengendalikan diri jangan sampai menyimpang dari fungsinya. Dibutuhkan waktu masih panjang lagi untuk dapat menikmati semua fungsi sosial politis kehidupan bersama dalam satu Negara RI ini. Kekuatan dahsyat ilmu cyber yang telah mempercepat perkembangan komunikasi massa sangat membantu fungsi pers, namun disinilah letak titik lemah yang harus diperhatikan dalam pengendalian diri itu.

Upacara 17 Agustusan di Istana

Posted by sunardi-djakarta on Jumat, 29 Januari 2010 , under | komentar (0)



OLEH: H.NURHADI PURWOSAPUTRO

Mungkin banyak orang yang bertanya mengapa masih dalam bulan Januari, naskah tentang upacara 17-an di istana sudah ditulis. Penulis menulis naskah ini dengan tujuan yang serius sesuai dengan rentang waktu, karena adanya harapan untuk menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam penyelenggaraan acara nasional 17-an di istana tahun ini yang masih beberapa bulan lagi. Upacara 17-an di istana tiap tahunnya sepanjang kita merdeka selalu menjadi puncak acara merayakan hari Kemerdekaan RI 17 Agustus, yang diselenggarakan secara megah dan hidmat, dihadiri oleh para pejabat, wakil rakyat, perwira tinggi angkatan dan Polri, perwakilan asing, para veteran dan tokoh-tokoh daerah serta politisi tingkat nasional. Dalam rangkaian seluruh acara peringatan hari Proklamasi Kemerdekaan RI itu seluruh acaranya sudah standard dan rutin dengan masa persiapan yang cukup panjang dan biaya yang tidak sedikit jumlahnya.
Berbagai mata acara yang dipersiapkan dan disajikan di depan publik banyak mengandung simbol-simbol yang mengandung nilai magis spiritual berkaitan dengan kondisi bangsa waktu itu dan maknanya bagi bangsa Indonesia masa kini dan yang akan datang. Dentuman meriam 17 kali pada jam 10, angka jumlah pasukan pengibar bendera (PASKIBRAKA), bendera pusaka asli yang selalu mengiringi bendera yang akan dikibarkan, pembacaan teks proklamasi kemerdekaan, dan sebagainya merupakan simbol-simbol yang berfungsi mengenang, mengingat kembali, harapan dan pendorong semangat nasionalisme. Dalam kaitan inilah naskah ini ditulis. Seluruh rakyat Indonesia pasti setuju bahwa bendera merah putih yang dikibarkan dimana pun dan kapan pun adalah lambang nasionalisme dan lambang semangat perjuangan bangsa mencapai kemerdekaan yang harus dijunjung tinggi dan ‘disakralkan’, namun apa yang terjadi di istana pada saat upacara memperingati hari kemerdekaan itu ada dua hal yang sangat menggelitik rasa kebangsaan penulis, dan disampaikan di naskah ini untuk mendapat tanggapan benar tidaknya pemikiran penulis ini.
Bendera merah putih dikibarkan di seluruh pelosok tanah air sebagai hasil perjuangan para pahlawan kita yang menghiasi seluruh taman makam pahlawan mengusir penjajah yang sudah ratusan tahun menjajah kita. Dengan demikian posisi batiniahnya akan sangat berbeda dengan bendara-bendera kebangsaan bangsa lain. Keanehan terjadi pada saat upacara pengibaran dengan seluruh kekhidmatannya baru saja selesai, pasukan upacara segera balik kanan dan bendera dibelakangi oleh patriot-patriot muda yang bakal meneruskan perjuangan bangsa mengisi kemerdekaan, yang seolah-olah lebih penting memperhatikan presiden dan tamu undangan di podium dari pada benderanya sendiri. Dus upacara pengibarannya hanya sampai disitu saja. Ini tentu sangat debatable. Tapi tidak inginkah kita menghilangkan kesan ini dengan cara memindahkan tiang bendera mendekat ke depan istana sehingga pasukan upacara tidak usah balik kanan dan seluruh acara pasti tetap dapat dilaksanakan dengan posisi bendera yang lebih terhormat? Posisi bendera yang persis di depan presiden dan hadirin di podium tetap menjadi sentral perhatian dan penghormatan seluruh yang hadir dan penonton di rumah-rumah dan tempat umum di seluruh tanah air. Boleh kita lihat dan cermati, barangkali hanya di istana saja yang disaksikan oleh para tokoh nasional (dignitaries), perwakilan asing dan disiar langsungkan ke seluruh penjuru tanah air, namun dalam sekejap sang saka merah putih dibelakangi oleh pasukan upacara. Apakah perlakuan kita terhadap bendera kebangsaan dalam upacara yang sangat resmi setiap tahun seperti itu berpengaruh dengan kondisi bangsa yang nyaris mandeg tidak maju-maju? Wallahu’alambissawab. Ini masalah pertama.
Kemudian pada sore harinya kita selalu menyaksikan adanya acara penurunan bendera secara resmi dan besar-besaran dengan undangan yang memenuhi semua tempat duduk yang disiapkan. Mari kita bertanya pada hati nurani kita masing-masing: benarkah bendera yang telah dikibarkan dengan tumbal darah dan nyawa para pejuang bangsa harus ada upacara penurunan? Tidak marahkan arwah para pejuang kita di makam-makam pahlawan menyaksikan acara itu?. Seharusnya pesan/message yang harus disampaikan oleh pemerintah kita kepada seluruh bangsa adalah sekali sang merah putih berkibar, pantang untuk diturunkan! Adapun karena menjelang malam hari bendera tidak perlu berkibar terus, boleh diturunkan tetapi jangan dengan upacara. Pada situasi seperti itu dimana ada petugas menurunkan bendera karena menjelang malam, seluruh orang yang dekat dan mata dapat melihat langsung, harus berdiri tegak menghadap bendera, menghormat sampai bendera dilepas talinya. Pernah ada yang menyanggah pemikiran itu dengan mengatakan bahwa di luar negeri ada juga negara yang mengadakan acara penurunan bendera semacam itu, tetapi haruskan kita menirunya? Dalam hal seperti ini kita harus lebih inward looking, melihat kepentingan kita sendiri. Masalah-masalah batiniah sakral yang simbolis seperti ini jangan dimentahkan dengan kepentingan turisme maupun kebiasaan yang sudah membudaya. Kita sendirilah yang mengatur diri sendiri, aturan yang dinilai tidak pas harus dirubah. Apakah kondisi dan kebiasaan seperti ini ada kaitannya dengan keterpurukan bangsa yang dibangun diatas darah dan nyawa para pejuang bangsa dewasa ini? Wallahu’alambissawaab.
Kita tidak usah terikat erat dengan aturan dan kebiasaan yang membelenggu kita padahal tidak pas. Seluruh rangkaian upacara nasional yang padat dengan lambang-lambang, simbol-simbol dan penuh pesan moral kebangsaan ini terlalu besar untuk diremahkan. Mudah-mudahan pesan tulisan ini dapat merangsang hati para pemimpin, dengan harapan bila tidak tahun ini, kapan pun di masa depan ada yang berani menerimanya dengan lkhlas dan mengambilnya sebagai dasar kebijakan nasionalnya.(***)

Kepala BNP2TKI Jumhur Hidayat : Laporkan dan Tangkap Maria Budi Fatiani Yang Menipu CTKI New Zealand

Posted by sunardi-djakarta on Sabtu, 23 Januari 2010 , under | komentar (0)



JAKARTA, SDJ - Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Jumhur Hidayat mengatakan, bila ada orang yang menjual namanya di luar apalagi sampai menipu Calon Tenaga Kerja Indonesia (CTKI) saya tegaskan agar dilaporkan dan pihak kepolisian harus menangkapnya. Seperti kejadian baru-baru ini yang menimpa sebanyak 31 orang Calon Tenaga Kerja Indonesia yang sedianya di pekerjakan atau ditempat ke Negara New Zealand sebagai tenaga formal di perkebunan. Menyikapi hal laporan 31 orang CTKI, Wawan CS yang merasa dirugikan oleh Maria Budi Fatiani yang melalui Bursa Kerja Luar Negeri (BKLN)” Wira Ayu Mandiri” di Indramayu, Kepala BNP2TKI menegaskan bila tidak memiliki job order tidak bisa masuk BKLN. “Ini sudah menyalahi peraturan yang telah saya buat. BKLN ini saya yang buat berdasarkan Kabadan Nomor Per-28/KA-BNP2TKI/VII/2007. Disitu jelas tertulis sebelum ada job order tidak boleh masuk BKLN. Harus ada job ordernya,” tegas Jumhur Hidayat.
Gagalnya berangkat 31 orang CTKI ke negara New Zealand karena tidak memiliki job order yang jelas sehingga para CTKI selama 6 bulan terlantar di Indramayau, Jawa Barat. Sementara 31 orang CTKI tersebut sudah dipungut biaya oleh Maria Budi Fatiani sebesar Rp. 37.500 juta rupiah per orang, namun hingga saat ini para CTKI belum dapat diberangkatkan dengan alasan beragam.
Tidak terima diperlakukan atau diterlantarkan serta tidak sesuai yang dijanjikan oleh Maria Budi Fatiani selaku Koordinator Nasional yang diangkat berdasarkan Surat Keputusan Presidium Nasional Pusat Peran Serta Masyarakat (PPMN) Nomor : 0401/SK/Pres Nas/PPM/IV/2008 Tentang Pengesahan Bursa Kerja Luar Negeri Pusat Peran Serta Masyarakat (BKLN PPM), sebanyak 31 orang CTKI Wawan CS melaporkan dan memberi kuasa kepada Muhammad Satya, SH selaku Ketua Umum PP SP TKI LN SPSI (Pimpinan Pusat Serikat Pekerja Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri), untuk menyelesaikan permasalahan yang menimpa CTKI New Zealand.
Sementara Ketua Umum PP SP TKI LN SPSI, Muhammad Satya,SH selaku kuasa 31 CTKI New Zealand menegaskan, mekanisme penempatan CTKI dalam Undang-Undang No 39 tahun 2004, ada 3 syarat : 1). Pemerintah (G To G), 2). Swasta (PPTKIS) dengan ijin SIUP, 3). Personel (G To P). Mekanisme penempatan kata M. Satya pertama harus jeas job order dari user dan dilegalisir oleh KBRI setempat. Job order di sampaikan pada pemerintah CQ. Dirjen Binapenta, untuk kepentingan mendapatkan SIP (Surat Ijin Perekrutan). Harus ada pelatihan (PAP).
Menurutnya dalam kasus 31 orang CTKI asal Indramayu ini yang gagal diberangkat ke Negara New Zealand oleh Maria Budi Fatiani pihak Dissosnakertrans Indramayu sudah dua kali melakukan mediasi para pihak terkait tidak pernah datang. Maria Budi Fatiani 2 X dipanggil Dissosnaker indramayu tidak datang (mangkir). “ini bentuk penipuan terhadap CTKI 31 orang yang gagal diberangkatkan karena mereka tidak memiliki job order yang jelas sehingga CTKI selama 6 bulan terlantar. Jadi perekrutan CTKI itu Ilegal,” tegas Muh. Satya. Sambil Muh. Satya menambahkan bahwa sudah melanggar ketentuan pemerintah menarik biaya dari CTKI, yang telah ditetapkan oleh PPM sebesar Rp. 37.500 juta rupiah/ orang. (RCHS).

Dirjen PHI dan Jamsos Depnakertrans Kelimpungan Atas Pertanyaan Tim Kuasa Hukum SP PT Angkasa Pura I

Posted by sunardi-djakarta on , under | komentar (0)





KIRI : Indra Munaswar dari kantor advokat dan konsultan hukum “RODJA & REKAN”, Ketua Serikat Pekerja PT. Angkasa Pura I Ibu Itje Yulinar dan Edison Sitorus, SH dari MMS Law Office & Associates.(Foto:Robert CH Sitorus)

JAKARTA, SDJ - Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial (Dirjen PHI) beserta pejabat eselon II dilingkungan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pembinaan Hubungan Industrial Dan Jaminan Sosial Kerja Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) di indikasi bermain mata dengan PT Angkasa Pura I (Persero), dalam hal penyelesaiaan masalah Perjanjian Kerja Bersama kedua (PKB II) yang hingga saat ini tidak terselesaikan karena ada konspirasi tertentu dari Dereksi PT Angkasa Pura I yang telah secara langsung maupun tidak langsung mendapat dukungan dari pejabat Depnakertrans. Bahwa sesungguhnya luar biasa Dirjen PHI mengundang seluruh eselon II dan Kasubdit di lingkungan Dirjen PHI dan Pengawas beserta Suku Dinas Tenaga Kerja Jakarta Pusat, hanya untuk membicarakan persiapan perundingan PKB PT Angkasa Pura I.
Yang menjadi pertanyaan apakah pembuatan PKB dari perusahaan harus melibatkan pejabat-pejabat Depnakertrans, yang fasilitasi oleh Dirjen PHI dan Jamsos di ruang rapat Dirjen PHI atau dengan kata lain harus kah pemerintah (Depnakertrans) ikut memfasilitasi perundingan PKB. Ini barangkali pak Menteri bisa menjawab.
Tapi menurut hemat Robert Sitorus, dalam hal perundingan PKB para pihak harus merundingkannya diperusahaan, kalaupun ada kesepakatan dapat dilakukan di luar perusahaan tapi bukan ditempat pemerintah (Depnakertrans), yang fungsinya sebagai regulator.

Pertemuan yang dilakukan Dirjen PHI pada tanggal 18 Januari 2010 yang dihadiri seluruh pejabat eselon dan pihak managemen PT Angkasa Pura I, Dirjen PHI besreta Direktur Persyaratan Kerja dan Eselon Direktur lainnya kewalahan bahkan bisa dikatakan kelimpungan menghadapi pertanyaan-pertanyaan dari Tim Kuasa Hukum Serikat Pekerja (SP) PT Angakasa Pura I karena memang secara jelas Dirjen PHI telah menyalahi peraturan perundang-undangan bidang ketenagakerjaan sehingga tidak ada artinya pertemuan tersebut.
Tim Kuasa Hukum Serikat Pekerja PT Angkasa Pura I yang dihadiri oleh Indra Munaswar, Nicolas Simanjuntak, Ardin Pane, Edison Sitorus, Yanto Robert P dan H. Azisman Rasid, sempat memanas terjadi keributan kecil ini di ruang rapat Dirjen PHI disebabkan pihak managemen PT Angkasa Pura I dan Serikat Pekerja Asosiasi Karyawan tidak menginginkan ada pihak lain pada hal mereka kuasa hukum sah dari SP PT Angkasa Pura I yang diberikan kuasa penuh untuk membantu perselisihan masalah PHK di PT Angkasa Pura serta perundingan PKB II yang sudah 4 tahun tidak terselesaikan oleh managemen PT Angkasa Pura I. Pihak managemen PT Angkasa Pura I yang dihadiri Midung Situmorang dan Serikat Pekerja Asosiasi Karyawan (SP-AKA), sempat mengusir kuasa hukum Serikat Pekerja PT Angakasa Pura I. Namun ketengangan di ruang rapat kerja Dirjen PHI itu dapat diatasi oleh semua pihak dengan kepala dingin. Akan tetapi pertemuan yang diadakan Dirjen PHI beserta pejabat Eselon II dilingkungan kerja Ditjen PHI dan Jamsos Depnakertrans itu tidak membawa hasil atau tidak ada artinya.(RCHS)

Keke Mayang Selesaikan Album POP Ke-3, Judul Lagu“Lelaki Jahanam”

Posted by sunardi-djakarta on , under | komentar (0)





JAKARTA, SDJ- Namanya Keke Mayang (23) asal Tulung Agung, Jawa Tengah. Sejak kecil bakat dan hobby bernyanyi sudah terlihat hingga menginjak dewasa, bernyanyi adalah kesukaannya. Ini terbukti bahwa Keke Mayang saat ini sudah dapat menyelesaikan Album POP ke 3 dengan judul lagunya “Lelaki Jahanam”. Sebelumnya Keke Mayang penyanyi cantik dan berkulit putih ini mengeluarkan Album Dangdut dengan judul lagu, Merinding Disco, yang di produksi IMUT RECORD.
Keke Mayang pelantun lagu Lelaki Jahanam yang memiliki bakat dan potensi bernyanyi sejak kecil ini bila kita menikmati lagunya dengan suara emasnya membuat kita pulas tertidur karena suaranya tidak ada bedanya dengan Artis Penyanyi Krisdayanti.
“Saya memang sejak kecil memang sudah punya bakat bernyanyi. Waktu duduk di bangku sekolah SMP dan SMK, kalau ada acara dari sekolah saya sebagai perwakilan untuk nyanyi. Hingga sampai sekarang ini pekerjaan saya menyanyi. Sebelumnya saya penyanyi Dangdut, tapi sekarang beralih menyanyi POP dan saat ini Album ke-3 saya sudah selesai. Ini semua karena dukungan semua pihak khususnya dukungan datang dari suami tercinta yang direkam dan di produksi IMUT RECORD milik suaminya, “ ujar Keke Mayang kelahiran 1986, yang memiliki bintang VIRGO, lulusan SMK Negeri Tulung Agung, Jawa Tengah ini dengan manja.(RCHS)

Hati-Hati Terhadap Artis Bodong dan Manager Bodong

Posted by sunardi-djakarta on , under | komentar (0)



JAKARTA, SDJ- Kewaspadaan itu sangat lah penting bagi kehidupan kita semua. Jangan sampai tertipu dan diperdaya oleh oknum-oknum yang mengaku-ngaku sebagai artis-artis bodong alias yang mengaku memiliki album pada hal tidak pernah memiliki album dan mengaku-ngaku sebagai Manager artis pada hal bodong, yang selalu menjual para artis-artisnya kepada relasi atau laki-laki hidung belang yang berkantong tebal.
Modus operandi yang dilakukan para artis bodong dan manager bodong tersebut adalah dengan mengaku-ngaku telah memiliki kaset atau album kepada relasi pada hal hanya bohong belaka alias foto album doang. Iming-iming seorang artis bodong alias palsu yang dikelola oleh agen artis bodong atau manager bodong di DKI Jakarta sangat beragam. Terpuruknya artis penyanyi dangdut yang asli hanya job atau show turun karena ulah yang dirusak oleh artis-artis bodong dan manager bodong. Para Artis bodong ini di iming-iming di kasih job oleh manager bodong. Show tiap Minggu dijamin 3 X dan di jual belikan sama relasi-relasi laki-laki hidung belang yang berkantong tebal. Sehingga Artis penyanyi yang asli yang telah memiliki album di kalahkan artis bodong.
Hati-hati terhadap pengguna atau pemberi job untuk mendatangkan bintang tamu karena rawannya artis bodong dan manager bodong tersebut yang seringkali merusak pasar penyanyi dangdut.
Kalau artis sesungguhnya tidak menjual harga diri hanya yang di jual suara dari penampilannya. Sedangkan perbedaan artis-artis bodong tersebut siap melayani relasi oleh perintah manager bodong dan mengimig-iming uang. Itulah ulah penyanyi abal-abal hanya untuk tameng dan mencari mangsa untuk diperdaya mencari uang yang banyak dengan cara menjual diri. Tidak tanggung-tanggung dirinya pun bisa dipakai para relasi maupun tamu-tamu hidung belang yang berkantong tebal. Melihat kenyataan itu para penyanyi atau artis dangdut sesungguhnya sangat menyayangkan sikap dan perilaku artis-artis bodong dan manager bodong yang tidak memiliki tanggungjawab moral. Ini sangat mencemarkan nama baik artis-artis ibukota yang punya potensi dan bakat dan memilki album yang sebenarnya. Oleh karena itu kalangan penyanyi dangdut akan berkoordinasi dengan pihak kepolisian untuk menyikapi artis-artis bodong tersebut dan manager bodong. Rencananya pihak terkait akan menindaklanjuti artis bodong dan manager bodong yang ada di Ibukota DKI Jakarta.
Salah seorang Artis penyanyi yang punya bakat potensi yang sudah memiliki album di Ibukota DKI Jakarta, yang enggan namanya ditulis mengomentari dan menyikapi adanya artis-artis bodong dan manager bodong tersebut mengatakan setuju bila mereka ditertibkan oleh pihak yang berwajib atau instansi terkait. Masalahnya kata Artis asli itu ini sudah mencemarkan nama baik artis yang sesungguhnya. “Bila mereka Artis dan Manager bodong itu ditertibkan oleh pihak kepolisian dan pihak terkait sangat mendukungnya, supaya semuanya tertib dan tidak ada lagi buruk sangka masyarakat kita terhadap para artis yang sesungguhnya,” tegas Artis cantik Penyanyi Dangdut ini dengan bersemangat. (RCHS/KN).

DPN-FUKMI Dukung Muller Silalahi, SE, MM dan Drs. H. Arsyad Damanik Balon Bupati dan Wakil Bupati Kab. Simalangun, Sumut

Posted by sunardi-djakarta on , under | komentar (0)





FOTO BERSAMA : Ketua Umum DPN-FUKMI, Drs. Abdullah Yatim, Balon Bupati Muller Silalahi, SE, MM, SEKUM Lawrensius Siregar dan Ketua MPO DPP KSPSI, Satya,SH di ruang kerja Staf Ahli Menakertrans, Depnakertrans,Jaksel.(Foto. Robert CH. Sitorus)

JAKARTA, SDJ - Dewan Pimpinan Nasional Forum Usaha Kecil Menengah Indonesia (DPN-FUKMI) mendukung Muller Silalahi, SE, MM Bakal Calon Bupati dan Wakil Bupati Drs. H. Arsyad Damanik Kabupten Simalangun, Sumatera Utara periode 2010-2015.
Alasan mereka medukung karena diyakini Muller Silalahi dan H. Arsyad Damanaik sebagai calon Bupati dan Wakil Bupati dapat menerapkannya di daerah Kab. Simalangun. Usaha Kecil Menengah diharapkan dapat bangkit untuk meningkatkan kesejahteraan, sebab, UKM adalah soko guru perekonomian masyarakat disamping koperasi.
Menurut Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN-FUKMI) Drs. Abdullah Yatim, yang didampingi SEKUM (Sekretaris Utama) Lawrensius Siregar, bahwa FUKMI ini sudah ada di 33 Provinsi termasuk di Sumatera Utara. “Kami menyakini pencalonan Muller Silalahi dan H. Arsyad Damanik sebagai calon Bupati dan Wakil Bupati Kab. Simalungun, dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat disana melalui FUKMI sebagai soko guru perekonomian masyarakat, “ ujar Abdullah Yatim yang diamini oleh Lawrensius Siregar.
Keyakinannya pencalonan Muller Silalahi sebagai Calon Bupati Kab. Simalungun, Sumatera Utara, kata Ketua Umum DPN-FUKMI, Drs. Abdullah Yatim, tidak diragukan lagi karena kemampuan dalam memimpin di Simalangun untuk mensejahterakan masyarakatnya disana dapat diwujudkannya melalui usaha kecil menengah sebagai penyangga dan pilar perekonomian masyarakat. Disamping itu juga kata Abdullah Yatim bahwa Muller Silalahi saat ini masih aktif menjabat Staf Ahli Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Bidang Sumber Daya Manusia dan Perekonomian, dan juga kemampuan Muller Silalahi selama memangku jabatan di Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi sudah teruji kualitasnya, disamping itu juga dia pernah menjabat Ketua Pengawas Pembangunan Masjid pada hal Muller Silalahi menganut agama Kristen Protestan. Ini yang membuat kami di DPN-FUKMI mendukungnya sebagai calon Bupati Kab. Simalungun, di Sumut. “Saya bangga kalau Muller Silalahi memimpin Kab. Simalaungun. Sosok beliau adalah seorang nasionalis meskipun berbeda agama akan tetapi dia peduli terhadap yang lain. Itulah yang membuat kami di DPN-FUKMI memberikan dukungan penuh kepada Muller Silalahi dan H. Arsyad Damanik untuk sebagai calon Bupati dan Wakil Bupati periode 2010-2015,” ujar Ketua Umum DPN-FUKMI Drs. Abdullah Yatim dengan bangga.
“Saya pernah bermukim dan tinggal di Medan Sumatera Utara, Kalau tidak salah dulunya Kab. Simalungun Lumbung Padi terbesar di Sumut, tapi belakangan ini merosot. Masyarakat disana hidup rukun berdampingan dengan suku dan agama yang lain. Tidak ada perbedaan itu saya lihat. Kab. Simalungun kedepannya nanti kalau di pimpin oleh Muller Silalahi dan H. Arsyad Damanik sebagai Bupati dan Wakil Bupati dapat mewujudkan kembali keemasannya menjadi lumbung padi terbesar di Sumut. Dan peranan FUKMI disana nanti melalui Bupati dan Wakil Bupati Kab. Simalungun dapat bangkit untuk meningkatkan kesejahteraan terutama usaha kecil dan menengah sebagai soko guru perekonomian masyarakat disana,” ungkap Ketua Umum DPN-FUKMI, Drs. Abdullah Yatim dengan penuh keyakinan. (Robert CH. Sitorus)

Undang-undang Keperawatan Menjawab Kebutuhan Kesehatan Masyarakat Luas

Posted by sunardi-djakarta on Jumat, 22 Januari 2010 , under | komentar (0)




DARI KIRI : H. Pardi.S.H anggota DPD RI Prov.DKI Jakarta yang juga penyelenggara seminar, Harif Fadillah, SKp., SH (selaku moderator), Drs. Nur Suhud (anggota komisi IX DPR RI Fraksi PDI.P), Prof. Dr. dr. Azrul Azwar, MPH (Pakar Bidang Kesehatan), Prof. Achir Yani S. Hamid, D.N.Sc. (Ketua Umum PP-PPNI) selaku para Pembicara seminar.

JAKARTA, SDJ - Sebagai bentuk upaya untuk mendukung percepatan Undang Undang Keperawatan, minggu lalu Rabu, (13/01) Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) menyelenggarakan seminar RUU Keperawatan di gedung DPR/MPR RI Senayan Jakarta Pusat dengan thema "Undang-undang Keperawatan Menjawab Kebutuhan Kesehatan Masyarakat Luas".
Dalam kata sambutan Pardi anggota DPD DKI Jakarta yang juga selaku penyelenggara seminar mengatakan, secara konstitusional DPD adalah legislator yang dipilih langsung oleh rakyat bersama dengan anggota DPR dan DPRD melalui Pemilihan Umum dengan salah satu kewenangan ikut membahas Rancangan Undang-Undang, sebagaimana dijelaskan pada Pasal 22D ayat (2) UUD 1945. Jelas bahwa Legitimasi DPD saat ini sangat kuat tidak beda dengan DPR, walaupun secara prakteknya anggota DPR lebih mewakili orang (the people representation) dan DPD lebih mewakili ruang (the space representation).
Dan DPD sebagai pemegang kedaulatan Rakyat juga merupakan penyalur keaneka ragaman dan kepentingan-kepentingan daerah/wilayah dalam seluruh bidang kebidupan, juga dapat mengambil inisiatif dalam berbagai hal terkait dengan masalah Kebangsaan baik secara nasional maupun lokal.
Dengan melakukan kunjungan kerja dan hasil survey beberapa kali anggota DPD RI di lapangan, ternyata proses pelayanan pada kesehatan masyarakat perlu lebih diperhatikan dan di tingkatkan. Dari hasil monitoring tersebut ditemukan beberapa persoalan yang meliputi ketidak merataan pelayanan kesehatan, hambatan akses terkait penyediaan sarana dan kebijakan pemerintah, bahkan sampai pada kualitas pelayanan yang diberikan pada tenaga kesehatan belum sesuai dengan harapan masyarakat.
DPD RI melihat ada satu faktor penting yang dapat mempengaruhi efektifitas penanganan masalah pelayanan kesehatan yaitu pemberdayaan perawat sebagai tenaga kesehatan yang handal dan perlu ditingkatkan peran dan fungsinya. Ditingkatkan kualitasnya dan diperkuat perlindungan mereka dalam memberikan pelayanan kesehatan, dimana perlindungan tersebut juga sekaligus menjadi perlindungan kepada masyarakat.
Mengapa Perawat sangat penting bagi bidang kesehatan, karena jumlah dan sebaran yang besar dan dapat menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Perawat dapat melaksanakan pelayanan disemua setting pelayanan kesehatan seperti : Rumah Sakit, Puskesmas, Balai Kesehatan dan Praktik Mandiri di masyarakat; Perawat juga mempunyai karakteristik yaitu secara kontinyu dan konstan dalam melayani masyarakat serta mempunyai ke ilmuan yang luas dan dapat mencakup kebutuhan kesehatan masyarakat pada umumnya.
Disisi lain, terlihat perawat belum begitu dipentingkan perannya dan banyak kebijakan-kebijakan yang tidak memperhatikan potensi perawat bahkan dalam otonomi daerah saat ini. Kesejahteraan perlindungan mereka sering terabaikan padahal perawat sering dijadikan ujung tombak dan palang pintu dalam melayanai kesehatan masyarakat.
Sebagai penyalur aspirasi daerah/wilayah maka DPD berkepentingan untuk berinisiatif mendorong percepatan pembahasan Rancangan Undang-Undang Keperawatan yang telah menjadi prioritas dalam Prolegnas tahun 2010. DPD sangat berharap proses menjadi Undang-Undang Keperawatan terus berlanjut sampai pada pengesahan, karena Undang-Undang ini telah terlalu lama ditunggu oleh daerah-daerah sebagai acuan dalam pemberdayaan perawat untuk dalam Prolegnas tahun 2010.
DPD sangat berharap proses menjadi Undang-Undang Keperawatan terus berlanjut sampai pada pengesahan, karena Undang-Undang ini berperan sebagai pedoman bagi daerah-daerah dalam pemberdayaan perawat untuk menjadi motor penggerak, karena disisi lain perawat sebagai petugas kesehatan merupakan salah satu komponen bangsa, sehingga perlu mendapatkan pengaturan yang baik serta mendapatkan kepastian hukum.
Kepentingan lainnya yang tidak boleh diabaikan adalah pemerintah telah menandatangani perjanjian dengan 10 (sepuluh) negara ASEAN dalam hal pelayanan perawat yang dikenal dengan Mutual Recognition Agreement (MRA) on Nursing Services, hal ini positif dalam iklim yang kompetitif saat ini dalam membuat regianonal standar dalam keperawatan, tetapi sangat dikhawatirkan bila Indonesia belum siap untuk mampu bersaing dan menyiapkan regulasi yang dapat menepis kepentingan-kepentingan asing yang pada akhimya akan merugikan perawat Indonesia apalagi perawat didaerah dan masyarakat penerima pelayanan perawat.
DPD RI akan selalu terus berjuang dalam mengupayakan RUU Keperawatan untuk segera diproses, dan berharap kepada pihak terkait dalam hal ini DPR serta Pemerintah tidak boleh mengabaikan aspirasi yang berkaitan dengan kesejahteraan Rakyat, ujar Pardi mengakhiri.(Didi)