Kobarkan Terus Semangat Anti Korupsi

Jumat, 16 April 2010 , Posted by sunardi-djakarta at 06.20

(Oleh: H.Nurhadi Purwosaputro)
Berita tentang konflik nasional antara (blok) KPK dan (blok) Polri sangat berkepanjangan dan menyita seluruh perhatian masyarakat. Pihak yang merasa benar ingin meyakinkan bahwa dirinyalah yang paling benar dan yang disudutkan berusaha keluar dari sudut tekanan. Rakyat pemilik Republik ini gigit jari, bingung tidak tahu ujung pangkalnya. Pikiran rakyat kecil sangat sederhana: membangun bangsa perlu dana sangat besar. Dana yang ada harus dimanage dengan sebaik-baiknya dan kontrol seketat-ketatnya. Lembaganya ada semua untuk fungsi-fungsi itu. Tapi mengapa korupsi yang menggerogoti uang rakyat makin membudaya? Siapa yang berfungsi menangani pemberantasan korupsi? Tentu semua instansi akan mengklim dirinya sebagai pahlawan anti korupsi agar rakyat tenang, karena korupsi terjadi di belakang meja, tidak akan mudah diketahui apalagi oleh rakyat awam.
Untuk mencari jalan keluar yang berpihak kepada rakyat adalah kembali kepada semangat perjuangan bangsa mencapai cita-cita sebagai bangsa merdeka. Semangat nasional ini selalu bangkit saat seluruh bangsa menghadapi musuh bersama seperti yang pernah kita alami: hadapi pemerintah kolonial, hadapi pendudukan Jepang, hadapi tentara sekutu/Belanda, hadapi Komunisme yang mau hancurkan Pancasila, semuanya musuh bangsa Indonesia. Dan sekarang hadapi siapa? Musuh bangsa Indonesia saat ini adalah kemelaratan, kebodohan dan keterbelakangan (bidang pembangunan SDM), serta koruptor. Maka korupsi harus diberantas secara nasional sampai ke akar-akarnya.
Rakyat bertanya: siapa yang fungsional harus menangani pemberantasan korupsi? Yang terlihat adalah makin hebat dan meratanya korupsi, merambah seluruh instansi pemerintah dan berakibat pada keluhan para investor dan kualitas pembangunan yang di bawah yang direncanakan. Dari sini terlihat bahwa lembaga-lembaga resmi yang berfungsi memberantas korupsi belum efektif, dalam ilmu perang “tidak mampu memenangkan perang terhadap koruptor”. Mereka mungkin bekerja keras, tetapi tidak mampu melumpuhkan lawan. Kondisi seperti itu berlangsung telah bertahun-tahun lamanya. Maka pemerintah selalu mengatasinya dengan membuat lembaga ‘ekstra konstitusional’ dengan tugas khusus memberantas korupsi, tetapi tetap saja tidak berhasil. Tahun 1972 pak Harto pernah membentuk TPK (Tim Pemberantas Korupsi) yang tidak mampu bekerja entah apa sebabnya, dan diganti lagi dan berganti lagi dengan nama dan personil lain tetapi tetap tanpa hasil yang memuaskan, terus sampai terbentuknya KPK yang terasa efek positifnya oleh rakyat, terutama selama dibawah Antasari Anzhar. Barangkali perlu kajian historis mengapa lembaga-lembaga ekstra konstitusional selalu alami kesulitan dan sering gagal? Siapa tahu hambatannya di birokrasi karena uang rakyat ada di tangan birokrasi.
Kegagalan yang selalu dialami dalam memberantas korupsi adalah karena korupsi dilakukan dibelakang meja, tahu-sama-tahu, kongkalingkong, sulit dibuktikan dan sebagainya. Selain korupsi hampir selalu melibatkan birokrasi yaltu para pengambil keputusan, terjadi di sekeliling kita sendiri. Di lain pihak ada dugaan aparat pelaksana pemberantasannya ada yang ikut terjangkit penyakit korupnya. Dari waktu kewaktu proses korupsi jalan terus sehingga dirasa diperlukan badan khusus yang menangani. Karena sulitnya membongkar kasus korupsi maka harus dimungkinkan digunakannya cara-cara khusus yang dapat dipertanggung jawabkan seperti penyadapan dan sebagainya.
Kalau kita sepakat korupsi merupakan musuh bangsa Indonesia, maka tindakan KPK terhadap koruptor sama dengan gerilyawan kita hadapi tentara pendudukan. Sama saja dengan TNI hadapi GPK. Koruptor sangat menggerogoti kekayaan bangsa. Maka apapun yang dilakukan selama itu untuk menggulung kekuatan lawan (koruptor) seharusnya memperoleh dukungan secara nasional. Aparat konvesnsional tidak mampu melakukan, maka dengan bukti KPK mampu, dukung terus. Memang peristiwa ‘peperangan’ (warfare) selalu menimbulkan dilemma, pro-kontra. Dilemma antara kepentingan penghancurkan musuh bangsa dengan hukum. Peristiwa yang sama terjadi pada waktu operasi penumpasan G-30-S/PKI dilemma itu terasa bahkan sampai sekarang. Oleh karena itu waktu itu ada aparat Komkamtib yang mendapat kewenangan polisionil secara terbatas, dan ada kebijakan golongan B dikirim ke pulau Buru karena memang tidak bisa diselesaikan secara hukum. Akibat dari itu maka untuk menyerang balik kebijakan Kopkamtib orang selalu memanfaatkan jalur hukum.
Dalam kasus KPK terjadi dilemma antara meneruskan semangat KPK yang sedang ‘membara’ (yang dukungannya sudah sangat besar) atau terus menegakkan hukum karena memang bangsa kita selalu mengalami kesulitan dalam penegakan hukum. Masing-masing mempunyai argumentasi kuat untuk mempertahankan posisinya. Tapi jiwa patriotirsme pasti lebih memilih hancurkan koruptor terlebih dahulu. Yaitu penghacuran koruptor gaya dibawah Antasari yang hasilnya member harapan besar, bukan asalan. Maka bila dimungkinkan, alangkah baiknya tim Antasari Anzhar dikembalikan posisinya lagi diberi kesempatan untuk menyelesaikan rencana kerjanya, sebagai bagian dari upaya penegakan hukum secara nasional. Mari kita dengar suara hati nurani rakyat yang selalu mendambakan kesejanteraan, keadilan, keamanankan dan ketertiban, sebagai pedoman bagi para politisi dan pengambil keputusan pada saat menghadapi dilemma.

Currently have 0 komentar:

Leave a Reply

Posting Komentar