Peran Pers: Dasyatnya Informasi

Jumat, 16 April 2010 , Posted by sunardi-djakarta at 06.08

(Oleh: H.Nurhadi Purwosaputro)
Dari pimpinan perusahaan sampai pemulung bahkan murid TK ramai-ramai melakukan gerakan solidaritas mengumpulkan coin (uang logam) untuk membantu Prita Mulyasari yang terkena hukuman harus membayar denda Rp204 juta lebih kepada Rumah Sakit Omni Internasional Tangerang setelah Pengadilan Negeri Tangerang menjatuhkan hukuman Rp306 juta akibat tulisannya di internet yang berisi keluhan ketidak puasannya atas pelayanan rumah sakit tersebut. Gerakan moral ini dengan cepat menyebar ke banyak kota di Jawa sampai ke kota Bima dan stasiun TV menyampaikan beritanya setiap saat sesuai dengan kesegaran beritanya. Berita tentang ditangkapnya Bibit – Chandra oleh Polri dalam kasus skandal penyuapan KPK cepat membara ke seluruh pelosok tanak air dan kampus sehingga gerakan massa nyaris tidak dapat dibendung. Beberapa pelaku yang ditanya oleh wartawan TV menjawab tidak faham masalahnya. Ini mungkin karena yang ditanya orang yang ikut-ikutan, tapi gayanya gegap gempita. Pada saat Panitia 8 menyelesaikan laporannya, ada gerakan massa membahana di kota-kota besar yang dianggap oleh sebagian orang sebagai gerakan kontra, kembali wartawan TV menanya peserta demo siapa Kapolri kita, jawabannya ‘tidak tahu’, kembali, mungkin yang ditanya adalah orang yang kebetulan ikut-ikutan, namun gayanya gegap gempita. Banyak lagi kasus seperti ini dimana gerakan massa bernilai solidaritas untuk mendukung atau melawan satu kondisi tertentu, yang melibatkan banyak orang awam yang tidak tahu menahu namun hatinya sudah terbakar membara tanpa tahu arah.
Keampuhan metoda demonstrasi besar-besaran sudah menjadi mode bagi para penginisiatif dan pakar komunikasi sebagai cara untuk menekan seberat-beratnya mental sasaran sehingga diharap akan segera memenuhi tuntutannya. Ini dapat terjadi karena media massapun akan memberitakannya secara besar-besaran sehingga mampu membentuk opini publik secara meyakinkan. Solidaritaspun segera terbentuk. Emosi anti sasarannya segera mengakar kuat dalam hati semuanya yang melihat, mendengar apalagi ikut serta berdemo sehingga apapun dapat dilakukan termasuk menyerang, merusak, membakar dan membenci, sampai menampilkan kebrutalan yang sulit dikendali komando demonstrasinya. Keampuhan media massa sebagai sarana pembentuk opini publikpun terbukti dengan jelas. Tanya saja kepada yang tidak punya TV, tidak mendengar radio mapun tidak biasa baca koran dapat dipastikan tidak tahu menahu, asyik dengan kegiatannya sendiri. Mereka bukan apatis tetapi karena media massa tidak menyentuhnya.
Betapa dahsyatnya peran pers dalam membentuk opini, membangun emosi, membangkitkan solidaritas, bahkan menjatuhkan seseorang secara sosial psikologis bahkan politis. Dalam kasus bank Century misalnya, pendapat umum nyaris mengatakan aliran dana nya kepada Partai Demokrat dan character yang menjadi sasaran ‘tembak’nya adalah SBY, padahal belum ada peradilan yang membuktikannya. Ada orang berpendapat telah terjadi peradilan publik oleh pers. Dalam pemberitaan soal penegakkan hukum semua media massa kompak membela ketidak adilan yang dirasakan oleh masyarakat bawah dan koruptor. Dalam kasus Prita Mulyasari, pihak rumah sakit OMNI tidak berhasil membentuk opini publik dengan cara proses peradilan bahwa Prita salah. Yang terbentuk adalah sebaliknya, satu opini bahwa OMNI tidak memperoleh simpati publik di hati anak-anak akan terbawa sampai mereka besar nanti.
Dengan demikian pers dapat dikatakan sebagai satu sistim persenjataan (sista) sendiri karena dapat melakukan ‘pembunuhan tak berdarak’, antara lain apa yang disebut dengan ‘character snipping’. Dan di kalangan pakar politik pers merupakan kekuatan yang harus dipertahankan peran dan keberadaannya sebagai kekuatan politik yang mandiri dalam sistim demokrasi. Tidak boleh ada yang mencoba untuk mengontrolnya. Kekuatan ini memang benar-benar dibutuhkan dalam masyarakat demokratis untuk menjaga keseimbangan politis antara yang memegang kekuasaan dan rakyat yang memiliki kedaulatan.Kita sudah mengalami betapa kondisi monopoli kekuasaan terkonsentrasi pada eksekutif pada masa dimana pers dapat dibungkam dan dilumpuhkan kekuatannya. Namun sebaliknya dalam kondisi pers memperoleh kebebasan penuh, peran yang seharusnya sebagai stabilisator menjadi ‘eksekutor’ dengan melakukan pengadilan oleh pers secara terbuka (baca: acara TV) dengan pertanyaan-pertanyaan yang menekan, menyudutkan bahkan dengan gaya sinis yang disaksikan langsung oleh seluruh pemirsa se Nusantara. Serasa proses peradilan di lembaga resmi Pengadilan Negeri sudah tidak perlu lagi.
Dalam kondisi seperti ini rasa keadilan terusik kembali. Orang mencoba untuk menyampaikan argumentasi perlunya kebebasan didampingi dengan ‘bertanggung jawab’ sebagai dua sisi uang logam yang tidak pernah terpisah. Semua akal sehat menyetujuinya tetapi praktiknya sangat sulit. Rahasianya hanya ada dalam kata hati atausuara hati nurani kita masing-masing. Bagaimana hati kita secara murni berbicara tentang betapa pers benar-benar membela kepentingan publik dan tidak menggunaan kekuatan dahsyatnya untuk melumpuhkan pihak manapun tanpa mengendalikan diri pada batas-batas fungsi demokratisnya. Di dalam kehidupan bersama masing-masing institusi yang memperoleh kekuasaan dan kekuatan untuk mengatur kehidupan bersama harus memahami betul batas-batas fungsinya.
Upaya penegakan hukum dan keadilan sangat diperlukan dan rakyat sangat menunggu-nunggu kapan dapat dirasakan nikmatnya oleh seluruh rakyat. Tetapi kenyataan yang dirasakan masih jauh dari harapan. Pers telah berhasil melaksanakan fungsinya dengan penuh keberanian betapa keadilan yang dirasakan rakyat kecil tidak seimbang dengan yang dinikmati oleh pemegang kekuasaan, apakah kekuasaan politis maupun kekuasaan ekonomis. Dengan bukti yang telah kita rasakan betapa dahsyatnya kekuatan pers sebagai satu ‘sistim kesenjataan moderen’ diharapkan dapat mengendalikan diri jangan sampai menyimpang dari fungsinya. Dibutuhkan waktu masih panjang lagi untuk dapat menikmati semua fungsi sosial politis kehidupan bersama dalam satu Negara RI ini. Kekuatan dahsyat ilmu cyber yang telah mempercepat perkembangan komunikasi massa sangat membantu fungsi pers, namun disinilah letak titik lemah yang harus diperhatikan dalam pengendalian diri itu.

Currently have 0 komentar:

Leave a Reply

Posting Komentar